Isu Terorisme dan Perang Global Melawan Terorisme[1]
Oleh: H. Achmad Michdan, SH.[2]
I. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi memberikan dampak dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semakin cepatnya perubahan itu kadang kala tidak diimbangi dengan perangkat-perangkat dalam masyarakat, terutama bagi bangsa yang masih bersifat konservatif. Globalisasi terkadang juga tidak mengindahkan batas regional suatu negara yang bisa mengakibatkan dilanggarnya kedaulatan suatu negara.
Perkembangan demikian bisa berdampak positif tetapi juga bisa tidak kalah dahsyatnya justru berdampak negatif. Hal yang paling kentara atau dapat dilihat dengan mudah adalah timbulnya berbagai kejahatan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan berbagai modus operandinya, seperti drug trafficking, illegal logging, perdagangan anak, money laundering atau yang saat ini sangat aktual adalah terorisme. Pola kejahatan yang biasanya bersifat konvensionalpun kini berubah menjadi sistematis, terorganisir atau yang kita kenal dengan organized crime.
Tidak terkecuali Indonesia, sebuah negara yang konon sedang mengalami masa transisi demokrasi. Pada masa transisi demikian berbagai gejolak yang timbulpun sangat besar sekali, khususnya dalam dimensi politik. Kebijakan negara yang tidak populis menyebabkan aksi protes dari berbagai macam kelompok masyarakat yang dilakukan dengan berbagai cara, dari sifatnya yang soft hingga yang anarkis.
Masih segar dalam ingatan kita kasus-kasus peledakan bom yang marak dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, yang mana membuka mata seluruh negara di dunia. Kasus peledakan bom yang paling kontroversial adalah hancurnya menara kembar WTC di New York AS pada 11 september 2001. Perbuatan semacam ini kemudian diberikan lebel sebagai aksi terorisme. Kata terorisme begitu sangat popular semenjak meledaknya menara WTC, ditambah lagi berbagai peristiwa peledakan yang terjadi di Indonesia, tragedy 12 oktober 2002 atau yang lebih dikenal dengan kasus bom Bali salah satu contoh yang mengawali maraknya berbagai peristiwa peledakan. Sebagai bentuk reaksi dari peristiwa tersebut maka pemerintah mengeluarkan regulasi melalui Perpu No. 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme, yang diberlakukan melalui Perpu No. 2 Tahun 2002 sebagai payung hukum atas peristiwa tersebut.
Dari peristiwa bom Bali itulah kemudian muncul kasus-kasus yang terjadi seperti bom Hotel J.W. Marriot, bom Kuninngan di depan Kedubes Australia, bom Cimanggis dan lain-lain, bahkan belum usai kasus-kasus itu diusut tuntas muncul lagi bom Bali II yang terjadi di Raja’s café di Kuta Square Bali dan 2 ledakan lainnya di Jimbaran pada Nyoman Café pada tanggal 1 oktober 2005 yang baru lalu.
Berbagai dugaan atau analisa kemudian bermunculan untuk mengetahui motif apa dibalik itu semua, mulai dari isu politik, ekonomi maupun agama, dan berbagai tuduhanpun muncul menuding siapa sebenarnya pelaku-pelaku itu. Dari mulai konspirasi dalam negeri hingga keterlibatan pihak asing. Dengan tertangkapnya sebagian orang-orang atau kelompok-kelompok yang bertanggung jawab untuk itu (kebetulan beragama Islam), maka opini yang muncul adalah bahwa kegiatan ini dilakukan oleh kelompok Islam garis keras dengan membawa symbol ‘jihad’, kemudian munculah nama Jama’ah Islamiah. Praktis, dengan demikian baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan adanya nama Islam maka hal ini menyudutkan Islam dan umat Islam sebagai teroris, dimana di Indonesia bersemayamlah sarangnya. Sungguh ironis, ini tuduhan yang terlalu mengada-ada. Di sisi yang lain dengan atas nama untuk ‘perdamaian dunia’ dilegalisasikan dan dijustifikasikan invansi Amerika terhadapat Afghanistan dan Irak, bukan sebagai aksi terorisme oleh negara, padahal akibatnya lebih dasyat dari sekedar bom Bali.
Atas dasar berbagai tuduhan yang menyudutkan Islam dan umat Islam inilah kemudian umat Islam bereaksi untuk menyangkal bahwa Islam dan umat Islam bukanlah teroris sebagaimana opini yang dibangun selama ini. Dari keprihatinan ini maka umat Islam yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) mencoba mengcounter berbagai tuduhan yang menyudutkan Islam dan umat Islam ini, dengan cara memberikan bantuan hukum kepada umat Islam yang menjadi tersangka sebagai pelaku peledakan bom, mengingat boleh jadi para tersangka ini hanya dijadikan kambing hitam semata dari sebuah black propaganda konspirasi global, pemahaman ini bukanlah tanpa dasar mengingat TPM secara langsung bersentuhan dengan para tersangka, sehingga banyak informasi faktual yang diperoleh.
Dari latar belakang yang demikian maka permasalahan dari makalah ini adalah apa dan bagaimana sebenarnya fenomena berbagai peledakan yang terjadi di Indonesia sebagai isu terorisme, khususnya yang diarahkan kepada Islam dan umat Islam dalam analisa Tim Pengacara muslim.
II. Pembahasan
2.1 Definisi Terorisme
Sebelum kita berbicara mengenai terorisme lebih jauh, alangkah bijaknya apabila kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terorisme sehingga tidak salah mengdiagnosa suatu peristiwa yang berakibat salah pula dalam mengambil sebuah kesimpulan.
Terorisme adalah terminologi yang biasa dipakai untuk menunjuk pada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang terorganisir yang dimaksudkan untuk mengintimidasi lawan dan mempublikasikan/mengumumkan keluhan penderitaan suatu kelompok yang merasa tertindas.
Menurut kamus The Contemporary English-Indonesian Dictionary definisi terorisme adalah penggentaran (upaya menakut-nakuti), terutama teror sistimatis yang digunakan oleh pemerintah terhadap orang-orang atau kelompok tertentu; dan juga berarti cara penentangan terhadap pemerintah dengan cara menggunakan teror.[3] Ini berarti bahwa terorisme pada awalnya teror yang dilakukan hanya oleh negara.
Meskipun terorisme telah diakui luas menjadi bagian dari kehidupan kontemporer, kesulitan-kesulitan secara politis dan semantik bahasa bermunculan ketika berusaha untuk membedakan antara terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya.
Terorisme kontemporer kini menjadi even media dan media cenderung untuk menggunakan istilah ini secara serampangan tanpa pandang bulu. Terlebih seketika suatu kelompok telah diberi label “teroris”, maka setiap perbuatan illegal ataupun tindakan kekerasan yang dilakukannya kemudian biasanya langsung disebut sebagai teroris, meskipun aktifitas yang dilakukannya itu tidak masuk dalam kategori terorisme, seperti yang dilakukan oleh para tersangka atau DPO di Tanah Runtuh, Gebangrejo, Poso yang bagi kaum muslimin khususnya di Poso justru sebagai mujuhidin para pahlawan pejuang dan pembela umat Islam di Poso.
Definisi terorisme telah menjadi masalah pertentangan intelektual dan politik. Karena istilah terorisme merupakan istilah yang merendahkan atau memburukkan pihak lain (pejoratif-apriori), partai-partai politik antagonistic memberi label aktifitas lawan-lawan politik mereka dengan label terrorist.[4] Dengan demikian terorisme memiliki reinkarnasi makna yaitu bahwa tindakan teror yang semula hanya dilakukan oleh negara saja tetapi kemudian berubah menjadi siapapun yang melakukan kekerasan, ancaman kekerasan yang dilakukan secara sistematik disebut sebagai terorisme.
Penentuan mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan berlakunya sebagai undang-undang dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2003, yaitu:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
Bentuk-bentuk tindak pidana terorisme itu beserta sanksinya telah dirumuskan dalam pasal-pasal selanjutnya hingga Pasal 19. Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme dapat pula dilihat pada Pasal 20 sampai dengan 24 dalam undang-undang yang sama.
Dalam terma Islam, terorisme dikenal dengan istilah hirabah (orangnya disebut dengan muharib). Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Syi’ah Zaidiyah (sebuah aliran Syi’ah yang paling dekat Ahlussunnah) mendefinisikan hirabah dengan orang yang keluar untuk maksud mengambil barang orang lain dengan cara anarkis dan menimbulkan suasana yang mencekam, mengambil harta lalu membunuh orangnya. Ulama lain memberikan pengertian cukuplah seseorang itu dikatakan telah melakukan tindakan hirabah apabila membuat suasana mencekam atau membuat orang menjadi takut keluar rumah. Madzhab Imam Malik, hirabah didefinikan sebagai tindakan yang membuat suasana di jalanan dan tempat lainnya menjadi kacau, menekam dan menakutkan, terlepas apakah si pelaku bermaksud merampok atau tidak.[5] Sedangkan dasar utama yang melandasi hukuman bagi muharib (teroris) adalah firman Allah Swt dalam Surat Al-Maidah / 5 : 33, sebagai berikut
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki merreka dengan bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.”
2. 2 Fenomena teroris dan terorisme ada di segala penjuru dunia
Fenomena terorisme bukanlah hal baru, istilah terorisme muncul bermula dari sejarah Reign of Terror pada masa Revolusi Perancis (1793-94) yang kemudian istilah ini lebih meluas pemakaiannya pada abad ke-20. Terorisme bisa bermacam-macam, antara lain terorisme politik yang bisa menjadi salah satu bagian dari kampanye pemerintah untuk menyingkirkan kelompok opisisi sebagaimana pada masa Hitler, Mussolini dan Stalin. Terorisme juga bisa merupakan bagian dari upaya revolusioner untuk menggulingkan suatu rezim, sebuah taktik yang dipakai dalam perang gerilya. Terorisme oleh kelompok radikal baik kiri maupun kanan, atau kelompok nasionalis sempat meluas setelah masa Perang Dunia II. Kelompok-kelompok revolusioner kontemporer yang terlibat dalam aktivitas teroris antara lain seperti IRA (Irish Republican Army=Tentara Republik Irlandia) sayap militer partai Sinn Fein yang memperjuangkan persatuan Irlandia, juga kelompok The Shining Path (Sendero Luminosi) yang semula adalah partai komunis Peru yang pada 1980 yang kemudian berubah bergerak menjadi gerakan terorisme.[6]
2. 3 Kejahatan Amerika dan sekutu-sekutunya
Penyerangan dan pendudukan tentara AS dan sekutunya terhadap negara-negara muslim seperti Afganistan dan Iraq yang telah menimbulkan ratusan ribu korban sipil tak berdosa merupakan bukti nyata kekejaman AS. AS melakukan tindakan secara unilateral tanpa resolusi dari Dewan Keamaan PBB sehingga melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum internasional. Hal ini mendorong solideritas, rasa simpati sekaligus kemarahan umat Islam terhadap sepak terjang dominasi dan hegemoni Amerika Serikat yang merupakan kekuatan imperialisme baru dunia yang sangat ekspansionis dan intervensionis, yang ternyata semua dalih dan tuduhannya hanyalah isapan jempol belaka dan tidak terbukti, terutama mengenai adanya senjata pemusnah massal di Irak. Sebenarnya jauh sebelum Afganistan dan Irak’polisi dunia’ ini mempunyai track record sebagai pelaku kelas kakap melakukan tindakan terorisme, misalnya di Haiti (1915), Kolombia (1960-sekarang), Angola, Chad, Afrika Selatan, Somalia (1978-1990), El Savador (1980-sekarang), Nicaragua (1981-1990), Cuba (1959-sekarang), Costa Rica (1950-1975), Republik Dominika (1963-1966), Chili (1964-1973), Vietnam (1969-1975), Argentina (1960-1980) dan Indonesia (1957, 1960-1965).[7]
Adagium ‘maling teriak maling’ tentu sebutan yang sangat sesuai bagi negeri Paman Sam, pasalnya dengan segala kekuatan (terutama media) mempropagandakan isu mengenai terorisme, terlebih paska peledakan 11 september 2001. Dengan dalih demokrasi, HAM dan peradaban serta perdamaian dunia, Amerika Serikat menciptakan stigma, bahwa dirinya adalah negara yang menjadi panutan didunia, sehingga jika ada yang berkonfrontasi tidak lebih dianggap sebagai perusak perdamaian dunia. Di bawah bendera PBB, segala cara digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya penghancuran terhadap Irak dan Afganistan yang disebut sebagai negara pelindung dan sarang para teroris.
Adalah Noam Chomsky, mengatakan bahwa Amerika adalah negara teroris dunia, hal ini dibuktikannya dengan berkaca pada penghancuran Nicaragua dibawah naungan presiden Daniel Ortega. Pembantaian bangsa Palestina oleh kaum zionis Israel di Deir Yassin (1948), Shabra dan Shantilla (1983) ataupun Hebron (1994) yang mendapat restu dari Amerika. Mungkin akan terlalu panjang jika semua kejahatan Amerika dibeberkan yang tidak lebih merupakan tindakan terorisme secara makro dan biadab, namun lagi-lagi dengan bersilat lidah semua itu adalah demi peradaban dan perdamaian dunia serta jauh dari faham terorisme. Demikian buruknya prilaku Amerika, sehingga pantaslah jika sesungguhnya Amerika adalah maling yang teriak maling dan bukan polisi dunia tetapi jenderal teroris dunia (The biggest Terrorist). Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana biadabnya rezim Amerika yang telah memanipulasi fakta peledakan WTC, silakan baca buku The Real Truth (Jerry D. Gray).
2. 4 Radikalisme muncul sebagai reaksi sebagian umat Islam terhadap ketidakadilan dunia
Sebagaimana yang telah digambarkan, bagaimana tindakan teroris yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya terhadap negara lain, jika diamati lebih jauh akan nampak sekali Islam dan umat Islam yang menjadi korban kebiadaban itu. Penghancuran terhadap negara-negara yang mayoritas beragama Islam telah memunculkan reaksi militan dari kalangan atau kelompok-kelompok Islam. Kemudian sikap perlawanan mereka itu ada juga yang direkayasa dan telah dikembangkan lebih jauh dengan memanfaatkan, menggunakan dan menciptakannya seolah-seolah sebagai reaksi yang dilakukan oleh umat Islam. Mereka sepenuhnya menyadari segala tindakan Amerika bukan lagi pada persoalan politis dan ekonomi semata tetapi masuk pada persoalan agama. Betapa mereka merasa Islam telah disudutkan, dicemarkan dan dilecehkan (misalnya, peristiwa pelecehan Al-Quran dan perendahan harkat dan martabat muslimin yang terjadi di Guatanamo dan Abu Ghraib).
Dengan ditambahnya trend baru bahwa Islam adalah teroris, maka sebagai justifikasi memburu teroris, mengakibatkan korban yang tidak sedikit, khususnya masyarakat sipil, anak-anak, orang tua dan wanita. Gambaran demikian menjadikan satu kesimpulan bahwa tindakan-tindakan ini harus dihentikan dan dibalas, ibarat benda di dalam air, semakin ditekan maka semakin besar tenaga yang dihasilkan untuk melawan tekanan itu. Al Qaeda merupakan salah satu kelompok guna menjawab segala bentuk perilaku negara teroris itu selama ini. Pembajakan, peledakan dan bom bunuh diri mulai bermekaran dimana-mana layaknya jamur dimusim penghujan. Hancurnya WTC disinyalir sebagai bukti menjawab ketidakadilan itu menjadi momentum kelompok-kelompok untuk melakukan aksi serupa, tidak terkecuali Indonesia. Dengan pemahaman bahwa umat Islam ibarat satu tubuh, maka batas-batas negara tidaklah jadi soal, asal itu umat Islam dimanapun berada maka mereka adalah saudara yang wajib mendapat perlindungan.
Sebenarnya untuk mempunyai sikap untuk menolak dan menentang sebuah kezaliman global yang dimotori oleh AS, tidak perlu seseorang itu adalah dari kalangan muslim fundamentalis atau radikal, orang awam non-muslim pun jika membaca dengan seksama semua even negatif di dunia ini, adanya ketidakadilan dunia dan imperialisme AS akan mempunyai sikap yang sama sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian warga negara AS sendiri.
Berbagai peristiwa peledakan di Indonesia merupakan satu dari sekian banyak aksi serupa diseluruh belahan dunia, tempat-tempat yang diduga sebagai berkumpulnya warga negara Amerika dan Australia menjadi sasaran empuk para kelompok-kelompok militan itu, yang seolah-olah mereka ingin mengatakan dan mengibarkan genderang perang terhadapap para terorisme negara itu. Jadi pada prinsipnya, segala bentuk perlawanan yang ada selama ini tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap ketidakadilan yang selama ini ada, khususnya diskriminasi, pemusnahan dan penghinaan terhadap umat Islam. Dalam hal ini, setiap gerakan Islam yang berusaha ingin mengembalikan kehidupan Islami berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah dilabel sebagai teroris semata karena menentang ideologi Barat yang materialistis-kapitalis-liberalis yang menuhankan kebendaan dan kapital sebagai tujuan akhirnya. Setelah hancurnya Uni Soviet, AS tidak memiliki musuh lagi, kemudian diciptakanlah oleh AS sendiri musuh baru yaitu Islam.
2. 5 Upaya Tim Pengacara Muslim
Berbagai peristiwa peledakan di Indonesia mulai dari bom Bali I, Batam, J.W. Marriot, Kedubes Australia dan lain-lain, serta yang terakhir Bom Bali II semakin menguatkan sinyalemen bahwa Islam, umat Islam dan Indonesia adalah teroris dan sarang teroris. Paradigma ini dibentuk dan dibangun tidak lepas dari opini publik melalui berbagai media oleh pihak-pihak tertentu, ditambah beberapa kasus yang sudah ditangkap dan diadili pelakunya yang kebetulan beragama Islam.
Tim Pengacara Muslim yang selama ini menangani kasus-kasus bom di tanah air melakukan pembelaan terhadap hak-hak hukum para tersangka dan terdakwa dengan melakukan pendampingan dalam penyidikan sampai pembelaan pada tahap pemeriksaan di persidangan.
Hampir bisa digeneralisir sejak bom Bali hingga kasus-kasus bom selanjutnya, para tersangka kasus bom di tanah air rata-rata telah mengalami penyiksaan dan intimidasi baik pada saat penangkapan maupun pada masa tahanan atau pada saat interogasi oleh penyidik.
Seperti apa yang dilakukan kepada para tersangka bom Bali I, penyidik berani melakukan penyiksaan yang sangat tidak manusiawi untuk merendahkan moral dan kehormatan, dengan menelanjangi, menyiksa seperti memukuli dan menyetrum kemaluan dan anggota tubuh lainnya, sehingga para tersangka itu mau-mau tidak mau karena tidak tahan akan siksaan akhirnya terpaksa untuk mengakui perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak dia lakukan dan dikait-kaitkan pada perkara-perkara dan cerita yang sama sekali dia tidak mengetahuinya.
TPM sudah pernah melaporkan hal-hal demikian kepada Komnas HAM untuk dapat dibentuk Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan TPM menyangkut pelanggaran HAM penyiksaan para tersangka teroris, namun hingga kini tidak mendapatkan respond dan tindak lanjut yang nyata dari Komnas HAM.
Dalam proses persidangan, seringkali TPM mendapati bahwa pengadilan yang mengadili kasus-kasus terorisme tidak dijalankan dengan fairness yang memadai. Persidangan seringkali mengabaikan keberatan-keberatan penasihat hukum dan tidak berusaha lebih jauh mendalami fakta-fakta yang telah berusaha digali oleh tim Penasihat Hukum, mengapa pengadilan tidak berusaha menggali lebih jauh sejauh mana secara material para tersangka ini benar-benar terlibat ke dalam jaringan teroris yang dimotori Dr. Azhari dan Noordin M. Top yang hingga kini masih misterius.
Oleh karenanya, perlu diluruskan pemahaman yang miring dari sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa TPM adalah pengacara pembela para teroris. TPM bukanlah pembela teroris, namun sebuah tim pengacara yang bekerja secara professional, semaksimal mungkin berusaha untuk bagaimana melakukan pembelaan hak hukum para terdakwa dan memastikan apakah sudah benar proses penerapan hukum yang diterapkan pada tersangka dan terdakwa serta mengontrol apakah semua aparat penegak hukum sudah mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam menangani kasus-kasus terorisme itu.
2.6 Ajaran Jihad dalam Islam vis-a-vis Terorisme
Jihad -yang secara etimologis bermakna kesulitan, kesukaran dan kepayahan- mengandung makna secara syar’i “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7).
Sedangkan pendapat para ulama salaf mengenai jihad antara lain “Mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela (Ibnu Abbas r.a.); “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadalah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya” (Muqatil rahimahullah); dan “(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Abdullah ibnul Mubarak dalam Zaadul Ma’ad, 3/8).
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).
Di balik semua aksi terorisme di dunia dan di Indonesia selama 4 hingga 6 tahun terakhir ini adalah nampak jelas merupakan konspirasi global yang dimotori oleh musuh-musuh Islam yang berusaha memfitnah agama Islam dan umat Islam. Islam disudutkan dan diberi stigma sebagai agama yang mengajarkan ekstrimitas, kekerasan dan pembunuhan warga sipil yang tidak bersalah merupakan hal yang dapat dijustifikasi. Padahal kita menyadari bahwa segala aksi terorisme itu telah sangat merusak citra Islam dan memberikan stigma buruk pada usaha-usaha dakwah Islamiyyah.
Bahkan penyulut dan pengobar isu terorisme juga menunggangi dan menyusupi gerakan-gerakan para aktifis Islam yang berdakwah dan berjihad untuk diarahkan dan disesatkan untuk melakukan aksi kekerasan terorisme yang sama sekali sebenarnya sangat tidak diajarkan dalam agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin, karena tidak adanya keadaan peperangan terbuka di wilayah perang seperti di Indonesia.
Konsep dan pengertian jihad yang sesungguhnya mempunyai makna luhur dan mulia dalam ajaran Islam telah dipelintir sedemikian rupa. Begitu pula konsep istimata telah disetting sedemikian rupa untuk memfitnah umat Islam dan meyakinkan dunia bahwa para teroris yang melakukan bom bunuh diri itu adalah dalam rangka istimata dan istisyhad. Padahal kita meyakini bahwa pelaksanaan istisyhad dan istimata hanya dapat dilakukan dalam medan pertempuran dalam perang terbuka terhadap musuh, bukanlah dilakukan dalam wilayah aman suatu negara yang tidak dalam keadaan perang dan juga bukan untuk menyerang orang asing yang kebetulan berada di dalamnya. Islam juga dengan jelas mengakui konsep batas-batas wilayah kekuasaan suatu negara atau daulah. Mereka yang menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia mendapatkan justifikasi dari ajaran Islam bahwa harus memerangi orang-orang kafir yang kebetulan berada di Indonesia karena dorongan solideritas terhadap penderitaan kaum muslimin diberbagai belahan dunia yang sedang dijajah dan didholimi seperti di Afghanistan dan Irak adalah pendapat yang salah dan keliru.
[1] Makalah pengantar diskusi disampaikan pada pelatihan Kader HMI di Jakarta pada tanggal 7 September 2007.
[2] Koordinator Operasional Tim Pengacara Muslim (TPM) Pusat.
[3] Drs. Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Fourth Edition.
[4] Stanford H. Kadish, Encyclopledia of Crime and Justice, The Free press, London, hal. 1529
[5] Fauzan Al-Anshar-Hawali Makmun, Pidana Terorisme, LSKI, Jakarta, hal. 18
[6] Microsoft Bookshelf Encyclopedia 1995.
[7] Jerry D. Gray, The Real Truth, Jakarta: Sinergi, 2004, hal. xv
Oleh: H. Achmad Michdan, SH.[2]
I. Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi memberikan dampak dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semakin cepatnya perubahan itu kadang kala tidak diimbangi dengan perangkat-perangkat dalam masyarakat, terutama bagi bangsa yang masih bersifat konservatif. Globalisasi terkadang juga tidak mengindahkan batas regional suatu negara yang bisa mengakibatkan dilanggarnya kedaulatan suatu negara.
Perkembangan demikian bisa berdampak positif tetapi juga bisa tidak kalah dahsyatnya justru berdampak negatif. Hal yang paling kentara atau dapat dilihat dengan mudah adalah timbulnya berbagai kejahatan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan berbagai modus operandinya, seperti drug trafficking, illegal logging, perdagangan anak, money laundering atau yang saat ini sangat aktual adalah terorisme. Pola kejahatan yang biasanya bersifat konvensionalpun kini berubah menjadi sistematis, terorganisir atau yang kita kenal dengan organized crime.
Tidak terkecuali Indonesia, sebuah negara yang konon sedang mengalami masa transisi demokrasi. Pada masa transisi demikian berbagai gejolak yang timbulpun sangat besar sekali, khususnya dalam dimensi politik. Kebijakan negara yang tidak populis menyebabkan aksi protes dari berbagai macam kelompok masyarakat yang dilakukan dengan berbagai cara, dari sifatnya yang soft hingga yang anarkis.
Masih segar dalam ingatan kita kasus-kasus peledakan bom yang marak dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, yang mana membuka mata seluruh negara di dunia. Kasus peledakan bom yang paling kontroversial adalah hancurnya menara kembar WTC di New York AS pada 11 september 2001. Perbuatan semacam ini kemudian diberikan lebel sebagai aksi terorisme. Kata terorisme begitu sangat popular semenjak meledaknya menara WTC, ditambah lagi berbagai peristiwa peledakan yang terjadi di Indonesia, tragedy 12 oktober 2002 atau yang lebih dikenal dengan kasus bom Bali salah satu contoh yang mengawali maraknya berbagai peristiwa peledakan. Sebagai bentuk reaksi dari peristiwa tersebut maka pemerintah mengeluarkan regulasi melalui Perpu No. 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme, yang diberlakukan melalui Perpu No. 2 Tahun 2002 sebagai payung hukum atas peristiwa tersebut.
Dari peristiwa bom Bali itulah kemudian muncul kasus-kasus yang terjadi seperti bom Hotel J.W. Marriot, bom Kuninngan di depan Kedubes Australia, bom Cimanggis dan lain-lain, bahkan belum usai kasus-kasus itu diusut tuntas muncul lagi bom Bali II yang terjadi di Raja’s café di Kuta Square Bali dan 2 ledakan lainnya di Jimbaran pada Nyoman Café pada tanggal 1 oktober 2005 yang baru lalu.
Berbagai dugaan atau analisa kemudian bermunculan untuk mengetahui motif apa dibalik itu semua, mulai dari isu politik, ekonomi maupun agama, dan berbagai tuduhanpun muncul menuding siapa sebenarnya pelaku-pelaku itu. Dari mulai konspirasi dalam negeri hingga keterlibatan pihak asing. Dengan tertangkapnya sebagian orang-orang atau kelompok-kelompok yang bertanggung jawab untuk itu (kebetulan beragama Islam), maka opini yang muncul adalah bahwa kegiatan ini dilakukan oleh kelompok Islam garis keras dengan membawa symbol ‘jihad’, kemudian munculah nama Jama’ah Islamiah. Praktis, dengan demikian baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan adanya nama Islam maka hal ini menyudutkan Islam dan umat Islam sebagai teroris, dimana di Indonesia bersemayamlah sarangnya. Sungguh ironis, ini tuduhan yang terlalu mengada-ada. Di sisi yang lain dengan atas nama untuk ‘perdamaian dunia’ dilegalisasikan dan dijustifikasikan invansi Amerika terhadapat Afghanistan dan Irak, bukan sebagai aksi terorisme oleh negara, padahal akibatnya lebih dasyat dari sekedar bom Bali.
Atas dasar berbagai tuduhan yang menyudutkan Islam dan umat Islam inilah kemudian umat Islam bereaksi untuk menyangkal bahwa Islam dan umat Islam bukanlah teroris sebagaimana opini yang dibangun selama ini. Dari keprihatinan ini maka umat Islam yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) mencoba mengcounter berbagai tuduhan yang menyudutkan Islam dan umat Islam ini, dengan cara memberikan bantuan hukum kepada umat Islam yang menjadi tersangka sebagai pelaku peledakan bom, mengingat boleh jadi para tersangka ini hanya dijadikan kambing hitam semata dari sebuah black propaganda konspirasi global, pemahaman ini bukanlah tanpa dasar mengingat TPM secara langsung bersentuhan dengan para tersangka, sehingga banyak informasi faktual yang diperoleh.
Dari latar belakang yang demikian maka permasalahan dari makalah ini adalah apa dan bagaimana sebenarnya fenomena berbagai peledakan yang terjadi di Indonesia sebagai isu terorisme, khususnya yang diarahkan kepada Islam dan umat Islam dalam analisa Tim Pengacara muslim.
II. Pembahasan
2.1 Definisi Terorisme
Sebelum kita berbicara mengenai terorisme lebih jauh, alangkah bijaknya apabila kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terorisme sehingga tidak salah mengdiagnosa suatu peristiwa yang berakibat salah pula dalam mengambil sebuah kesimpulan.
Terorisme adalah terminologi yang biasa dipakai untuk menunjuk pada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang terorganisir yang dimaksudkan untuk mengintimidasi lawan dan mempublikasikan/mengumumkan keluhan penderitaan suatu kelompok yang merasa tertindas.
Menurut kamus The Contemporary English-Indonesian Dictionary definisi terorisme adalah penggentaran (upaya menakut-nakuti), terutama teror sistimatis yang digunakan oleh pemerintah terhadap orang-orang atau kelompok tertentu; dan juga berarti cara penentangan terhadap pemerintah dengan cara menggunakan teror.[3] Ini berarti bahwa terorisme pada awalnya teror yang dilakukan hanya oleh negara.
Meskipun terorisme telah diakui luas menjadi bagian dari kehidupan kontemporer, kesulitan-kesulitan secara politis dan semantik bahasa bermunculan ketika berusaha untuk membedakan antara terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya.
Terorisme kontemporer kini menjadi even media dan media cenderung untuk menggunakan istilah ini secara serampangan tanpa pandang bulu. Terlebih seketika suatu kelompok telah diberi label “teroris”, maka setiap perbuatan illegal ataupun tindakan kekerasan yang dilakukannya kemudian biasanya langsung disebut sebagai teroris, meskipun aktifitas yang dilakukannya itu tidak masuk dalam kategori terorisme, seperti yang dilakukan oleh para tersangka atau DPO di Tanah Runtuh, Gebangrejo, Poso yang bagi kaum muslimin khususnya di Poso justru sebagai mujuhidin para pahlawan pejuang dan pembela umat Islam di Poso.
Definisi terorisme telah menjadi masalah pertentangan intelektual dan politik. Karena istilah terorisme merupakan istilah yang merendahkan atau memburukkan pihak lain (pejoratif-apriori), partai-partai politik antagonistic memberi label aktifitas lawan-lawan politik mereka dengan label terrorist.[4] Dengan demikian terorisme memiliki reinkarnasi makna yaitu bahwa tindakan teror yang semula hanya dilakukan oleh negara saja tetapi kemudian berubah menjadi siapapun yang melakukan kekerasan, ancaman kekerasan yang dilakukan secara sistematik disebut sebagai terorisme.
Penentuan mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan berlakunya sebagai undang-undang dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2003, yaitu:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
Bentuk-bentuk tindak pidana terorisme itu beserta sanksinya telah dirumuskan dalam pasal-pasal selanjutnya hingga Pasal 19. Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme dapat pula dilihat pada Pasal 20 sampai dengan 24 dalam undang-undang yang sama.
Dalam terma Islam, terorisme dikenal dengan istilah hirabah (orangnya disebut dengan muharib). Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Syi’ah Zaidiyah (sebuah aliran Syi’ah yang paling dekat Ahlussunnah) mendefinisikan hirabah dengan orang yang keluar untuk maksud mengambil barang orang lain dengan cara anarkis dan menimbulkan suasana yang mencekam, mengambil harta lalu membunuh orangnya. Ulama lain memberikan pengertian cukuplah seseorang itu dikatakan telah melakukan tindakan hirabah apabila membuat suasana mencekam atau membuat orang menjadi takut keluar rumah. Madzhab Imam Malik, hirabah didefinikan sebagai tindakan yang membuat suasana di jalanan dan tempat lainnya menjadi kacau, menekam dan menakutkan, terlepas apakah si pelaku bermaksud merampok atau tidak.[5] Sedangkan dasar utama yang melandasi hukuman bagi muharib (teroris) adalah firman Allah Swt dalam Surat Al-Maidah / 5 : 33, sebagai berikut
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki merreka dengan bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.”
2. 2 Fenomena teroris dan terorisme ada di segala penjuru dunia
Fenomena terorisme bukanlah hal baru, istilah terorisme muncul bermula dari sejarah Reign of Terror pada masa Revolusi Perancis (1793-94) yang kemudian istilah ini lebih meluas pemakaiannya pada abad ke-20. Terorisme bisa bermacam-macam, antara lain terorisme politik yang bisa menjadi salah satu bagian dari kampanye pemerintah untuk menyingkirkan kelompok opisisi sebagaimana pada masa Hitler, Mussolini dan Stalin. Terorisme juga bisa merupakan bagian dari upaya revolusioner untuk menggulingkan suatu rezim, sebuah taktik yang dipakai dalam perang gerilya. Terorisme oleh kelompok radikal baik kiri maupun kanan, atau kelompok nasionalis sempat meluas setelah masa Perang Dunia II. Kelompok-kelompok revolusioner kontemporer yang terlibat dalam aktivitas teroris antara lain seperti IRA (Irish Republican Army=Tentara Republik Irlandia) sayap militer partai Sinn Fein yang memperjuangkan persatuan Irlandia, juga kelompok The Shining Path (Sendero Luminosi) yang semula adalah partai komunis Peru yang pada 1980 yang kemudian berubah bergerak menjadi gerakan terorisme.[6]
2. 3 Kejahatan Amerika dan sekutu-sekutunya
Penyerangan dan pendudukan tentara AS dan sekutunya terhadap negara-negara muslim seperti Afganistan dan Iraq yang telah menimbulkan ratusan ribu korban sipil tak berdosa merupakan bukti nyata kekejaman AS. AS melakukan tindakan secara unilateral tanpa resolusi dari Dewan Keamaan PBB sehingga melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum internasional. Hal ini mendorong solideritas, rasa simpati sekaligus kemarahan umat Islam terhadap sepak terjang dominasi dan hegemoni Amerika Serikat yang merupakan kekuatan imperialisme baru dunia yang sangat ekspansionis dan intervensionis, yang ternyata semua dalih dan tuduhannya hanyalah isapan jempol belaka dan tidak terbukti, terutama mengenai adanya senjata pemusnah massal di Irak. Sebenarnya jauh sebelum Afganistan dan Irak’polisi dunia’ ini mempunyai track record sebagai pelaku kelas kakap melakukan tindakan terorisme, misalnya di Haiti (1915), Kolombia (1960-sekarang), Angola, Chad, Afrika Selatan, Somalia (1978-1990), El Savador (1980-sekarang), Nicaragua (1981-1990), Cuba (1959-sekarang), Costa Rica (1950-1975), Republik Dominika (1963-1966), Chili (1964-1973), Vietnam (1969-1975), Argentina (1960-1980) dan Indonesia (1957, 1960-1965).[7]
Adagium ‘maling teriak maling’ tentu sebutan yang sangat sesuai bagi negeri Paman Sam, pasalnya dengan segala kekuatan (terutama media) mempropagandakan isu mengenai terorisme, terlebih paska peledakan 11 september 2001. Dengan dalih demokrasi, HAM dan peradaban serta perdamaian dunia, Amerika Serikat menciptakan stigma, bahwa dirinya adalah negara yang menjadi panutan didunia, sehingga jika ada yang berkonfrontasi tidak lebih dianggap sebagai perusak perdamaian dunia. Di bawah bendera PBB, segala cara digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya penghancuran terhadap Irak dan Afganistan yang disebut sebagai negara pelindung dan sarang para teroris.
Adalah Noam Chomsky, mengatakan bahwa Amerika adalah negara teroris dunia, hal ini dibuktikannya dengan berkaca pada penghancuran Nicaragua dibawah naungan presiden Daniel Ortega. Pembantaian bangsa Palestina oleh kaum zionis Israel di Deir Yassin (1948), Shabra dan Shantilla (1983) ataupun Hebron (1994) yang mendapat restu dari Amerika. Mungkin akan terlalu panjang jika semua kejahatan Amerika dibeberkan yang tidak lebih merupakan tindakan terorisme secara makro dan biadab, namun lagi-lagi dengan bersilat lidah semua itu adalah demi peradaban dan perdamaian dunia serta jauh dari faham terorisme. Demikian buruknya prilaku Amerika, sehingga pantaslah jika sesungguhnya Amerika adalah maling yang teriak maling dan bukan polisi dunia tetapi jenderal teroris dunia (The biggest Terrorist). Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana biadabnya rezim Amerika yang telah memanipulasi fakta peledakan WTC, silakan baca buku The Real Truth (Jerry D. Gray).
2. 4 Radikalisme muncul sebagai reaksi sebagian umat Islam terhadap ketidakadilan dunia
Sebagaimana yang telah digambarkan, bagaimana tindakan teroris yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya terhadap negara lain, jika diamati lebih jauh akan nampak sekali Islam dan umat Islam yang menjadi korban kebiadaban itu. Penghancuran terhadap negara-negara yang mayoritas beragama Islam telah memunculkan reaksi militan dari kalangan atau kelompok-kelompok Islam. Kemudian sikap perlawanan mereka itu ada juga yang direkayasa dan telah dikembangkan lebih jauh dengan memanfaatkan, menggunakan dan menciptakannya seolah-seolah sebagai reaksi yang dilakukan oleh umat Islam. Mereka sepenuhnya menyadari segala tindakan Amerika bukan lagi pada persoalan politis dan ekonomi semata tetapi masuk pada persoalan agama. Betapa mereka merasa Islam telah disudutkan, dicemarkan dan dilecehkan (misalnya, peristiwa pelecehan Al-Quran dan perendahan harkat dan martabat muslimin yang terjadi di Guatanamo dan Abu Ghraib).
Dengan ditambahnya trend baru bahwa Islam adalah teroris, maka sebagai justifikasi memburu teroris, mengakibatkan korban yang tidak sedikit, khususnya masyarakat sipil, anak-anak, orang tua dan wanita. Gambaran demikian menjadikan satu kesimpulan bahwa tindakan-tindakan ini harus dihentikan dan dibalas, ibarat benda di dalam air, semakin ditekan maka semakin besar tenaga yang dihasilkan untuk melawan tekanan itu. Al Qaeda merupakan salah satu kelompok guna menjawab segala bentuk perilaku negara teroris itu selama ini. Pembajakan, peledakan dan bom bunuh diri mulai bermekaran dimana-mana layaknya jamur dimusim penghujan. Hancurnya WTC disinyalir sebagai bukti menjawab ketidakadilan itu menjadi momentum kelompok-kelompok untuk melakukan aksi serupa, tidak terkecuali Indonesia. Dengan pemahaman bahwa umat Islam ibarat satu tubuh, maka batas-batas negara tidaklah jadi soal, asal itu umat Islam dimanapun berada maka mereka adalah saudara yang wajib mendapat perlindungan.
Sebenarnya untuk mempunyai sikap untuk menolak dan menentang sebuah kezaliman global yang dimotori oleh AS, tidak perlu seseorang itu adalah dari kalangan muslim fundamentalis atau radikal, orang awam non-muslim pun jika membaca dengan seksama semua even negatif di dunia ini, adanya ketidakadilan dunia dan imperialisme AS akan mempunyai sikap yang sama sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian warga negara AS sendiri.
Berbagai peristiwa peledakan di Indonesia merupakan satu dari sekian banyak aksi serupa diseluruh belahan dunia, tempat-tempat yang diduga sebagai berkumpulnya warga negara Amerika dan Australia menjadi sasaran empuk para kelompok-kelompok militan itu, yang seolah-olah mereka ingin mengatakan dan mengibarkan genderang perang terhadapap para terorisme negara itu. Jadi pada prinsipnya, segala bentuk perlawanan yang ada selama ini tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap ketidakadilan yang selama ini ada, khususnya diskriminasi, pemusnahan dan penghinaan terhadap umat Islam. Dalam hal ini, setiap gerakan Islam yang berusaha ingin mengembalikan kehidupan Islami berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah dilabel sebagai teroris semata karena menentang ideologi Barat yang materialistis-kapitalis-liberalis yang menuhankan kebendaan dan kapital sebagai tujuan akhirnya. Setelah hancurnya Uni Soviet, AS tidak memiliki musuh lagi, kemudian diciptakanlah oleh AS sendiri musuh baru yaitu Islam.
2. 5 Upaya Tim Pengacara Muslim
Berbagai peristiwa peledakan di Indonesia mulai dari bom Bali I, Batam, J.W. Marriot, Kedubes Australia dan lain-lain, serta yang terakhir Bom Bali II semakin menguatkan sinyalemen bahwa Islam, umat Islam dan Indonesia adalah teroris dan sarang teroris. Paradigma ini dibentuk dan dibangun tidak lepas dari opini publik melalui berbagai media oleh pihak-pihak tertentu, ditambah beberapa kasus yang sudah ditangkap dan diadili pelakunya yang kebetulan beragama Islam.
Tim Pengacara Muslim yang selama ini menangani kasus-kasus bom di tanah air melakukan pembelaan terhadap hak-hak hukum para tersangka dan terdakwa dengan melakukan pendampingan dalam penyidikan sampai pembelaan pada tahap pemeriksaan di persidangan.
Hampir bisa digeneralisir sejak bom Bali hingga kasus-kasus bom selanjutnya, para tersangka kasus bom di tanah air rata-rata telah mengalami penyiksaan dan intimidasi baik pada saat penangkapan maupun pada masa tahanan atau pada saat interogasi oleh penyidik.
Seperti apa yang dilakukan kepada para tersangka bom Bali I, penyidik berani melakukan penyiksaan yang sangat tidak manusiawi untuk merendahkan moral dan kehormatan, dengan menelanjangi, menyiksa seperti memukuli dan menyetrum kemaluan dan anggota tubuh lainnya, sehingga para tersangka itu mau-mau tidak mau karena tidak tahan akan siksaan akhirnya terpaksa untuk mengakui perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak dia lakukan dan dikait-kaitkan pada perkara-perkara dan cerita yang sama sekali dia tidak mengetahuinya.
TPM sudah pernah melaporkan hal-hal demikian kepada Komnas HAM untuk dapat dibentuk Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan TPM menyangkut pelanggaran HAM penyiksaan para tersangka teroris, namun hingga kini tidak mendapatkan respond dan tindak lanjut yang nyata dari Komnas HAM.
Dalam proses persidangan, seringkali TPM mendapati bahwa pengadilan yang mengadili kasus-kasus terorisme tidak dijalankan dengan fairness yang memadai. Persidangan seringkali mengabaikan keberatan-keberatan penasihat hukum dan tidak berusaha lebih jauh mendalami fakta-fakta yang telah berusaha digali oleh tim Penasihat Hukum, mengapa pengadilan tidak berusaha menggali lebih jauh sejauh mana secara material para tersangka ini benar-benar terlibat ke dalam jaringan teroris yang dimotori Dr. Azhari dan Noordin M. Top yang hingga kini masih misterius.
Oleh karenanya, perlu diluruskan pemahaman yang miring dari sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa TPM adalah pengacara pembela para teroris. TPM bukanlah pembela teroris, namun sebuah tim pengacara yang bekerja secara professional, semaksimal mungkin berusaha untuk bagaimana melakukan pembelaan hak hukum para terdakwa dan memastikan apakah sudah benar proses penerapan hukum yang diterapkan pada tersangka dan terdakwa serta mengontrol apakah semua aparat penegak hukum sudah mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam menangani kasus-kasus terorisme itu.
2.6 Ajaran Jihad dalam Islam vis-a-vis Terorisme
Jihad -yang secara etimologis bermakna kesulitan, kesukaran dan kepayahan- mengandung makna secara syar’i “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir atau musuh” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul Mumti’, 8/7).
Sedangkan pendapat para ulama salaf mengenai jihad antara lain “Mencurahkan kemampuan padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela (Ibnu Abbas r.a.); “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang sebenar-benarnya dan beribadalah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya” (Muqatil rahimahullah); dan “(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan hawa nafsu.” (Abdullah ibnul Mubarak dalam Zaadul Ma’ad, 3/8).
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad diistilahkan kepada mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin (jihad melawan kaum munafik).
Di balik semua aksi terorisme di dunia dan di Indonesia selama 4 hingga 6 tahun terakhir ini adalah nampak jelas merupakan konspirasi global yang dimotori oleh musuh-musuh Islam yang berusaha memfitnah agama Islam dan umat Islam. Islam disudutkan dan diberi stigma sebagai agama yang mengajarkan ekstrimitas, kekerasan dan pembunuhan warga sipil yang tidak bersalah merupakan hal yang dapat dijustifikasi. Padahal kita menyadari bahwa segala aksi terorisme itu telah sangat merusak citra Islam dan memberikan stigma buruk pada usaha-usaha dakwah Islamiyyah.
Bahkan penyulut dan pengobar isu terorisme juga menunggangi dan menyusupi gerakan-gerakan para aktifis Islam yang berdakwah dan berjihad untuk diarahkan dan disesatkan untuk melakukan aksi kekerasan terorisme yang sama sekali sebenarnya sangat tidak diajarkan dalam agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin, karena tidak adanya keadaan peperangan terbuka di wilayah perang seperti di Indonesia.
Konsep dan pengertian jihad yang sesungguhnya mempunyai makna luhur dan mulia dalam ajaran Islam telah dipelintir sedemikian rupa. Begitu pula konsep istimata telah disetting sedemikian rupa untuk memfitnah umat Islam dan meyakinkan dunia bahwa para teroris yang melakukan bom bunuh diri itu adalah dalam rangka istimata dan istisyhad. Padahal kita meyakini bahwa pelaksanaan istisyhad dan istimata hanya dapat dilakukan dalam medan pertempuran dalam perang terbuka terhadap musuh, bukanlah dilakukan dalam wilayah aman suatu negara yang tidak dalam keadaan perang dan juga bukan untuk menyerang orang asing yang kebetulan berada di dalamnya. Islam juga dengan jelas mengakui konsep batas-batas wilayah kekuasaan suatu negara atau daulah. Mereka yang menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia mendapatkan justifikasi dari ajaran Islam bahwa harus memerangi orang-orang kafir yang kebetulan berada di Indonesia karena dorongan solideritas terhadap penderitaan kaum muslimin diberbagai belahan dunia yang sedang dijajah dan didholimi seperti di Afghanistan dan Irak adalah pendapat yang salah dan keliru.
[1] Makalah pengantar diskusi disampaikan pada pelatihan Kader HMI di Jakarta pada tanggal 7 September 2007.
[2] Koordinator Operasional Tim Pengacara Muslim (TPM) Pusat.
[3] Drs. Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Fourth Edition.
[4] Stanford H. Kadish, Encyclopledia of Crime and Justice, The Free press, London, hal. 1529
[5] Fauzan Al-Anshar-Hawali Makmun, Pidana Terorisme, LSKI, Jakarta, hal. 18
[6] Microsoft Bookshelf Encyclopedia 1995.
[7] Jerry D. Gray, The Real Truth, Jakarta: Sinergi, 2004, hal. xv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar